BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang.
Ditengah
denyut perkembangan Kota Tasikmalaya kini, seolah sedikit mengusik pertanyaan,
akrabnya nama-nama gunung yang mengawali nama sejumlah sudut kotanya. Di
sekitar pusat kota saja misal, ada Gunung Pereng , Gunung Sabeulah, Gunung
Kicau, Gunung Singa, GunungCeuri dll. Mengamati
kawasan atau daerah berembel gunung-gunung itu, cerita masyarakat setempat,
mengaitkan kisah adanya sebuah gunung dulu yang rata-rata ukurannya lebih pas
dalam sebutan bukit. Nama-nama itu rupanya tak ubahnya adalah bentuk toponimi
(nama berdasarkan keadaan topografi daerah yang bersangkutan), yang pada
mulanya memang berbentuk sebuah gunung menurut bahasa penduduk lokal, atau
bukit dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam
literatur geologi dikenal, Kota Tasikmalaya sebagai Kota Sepuluh Ribu Bukit. Bukit-bukit
tersebut merupakan bentukan alam yang terjadi melalui proses geologis letusan
gunung Galunggung ribuan tahun yang lalu, dari hasil erupsi gunung Galunggung
yang terjadi beberapa kali tersebut, terbentuklah bukit-bukit kecil di sekitar
Tasikmalaya. Akan tetapi Tasikmalaya yang selama ini dikenal dengan kota
sepuluh ribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan
kategori galian liar terjadi di mana-mana. Kegiatan penambangan pasir bukit
tersebar secara sporadis di tiga kelurahan yaitu Mangkubumi, Indihiang dan
Bungursari. Perbukitan di wilayah Kota Tasikmalaya memang dikenal memiliki
kualitas tanah yang baik untuk bahan adukan bangunan.
Dari sisi
ekologi, bukit-bukit ini memiliki peran sebagai daerah hijau dan terbuka untuk
memelihara kenyamanan serta keseimbangan lingkungan, sehingga terjadi hubungan
timbal balik antara manusia dengan lingkungannya secara ideal. Sudah dapat
dipastikan, apabila bukit kena eksploitasi dengan cara diambil batu dan
pasirnya untuk kebutuhan bangunan, tentu akan memberi pengaruh terhadap
kenyamanan hidup manusia sekitar, baik dari sudut pandang cuaca maupun iklim
secara keseluruhan. Setidaknya, kita kini semakin merasakan, suhu daerah
yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Dari sudut hidrologi, keberadaan
bukit-bukit berfungsi sebagai daerah resapan air yang akan mampu memelihara
stabilitas sumber dan kedalaman air tanah. Dengan makin berkurangnya bukit yang
berjumlah banyak itu, maka makin berkurang dan kedalamannya semakin tinggi.
Diperkirakan, lama kelamaan Kota Tasikmalaya akan terkesan kering dan gersang.
Kesulitan air dirasakan daerah tertentu, kecuali itu tak memiliki atau
hilangnya nilai estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Adapun secara
ekonomi, bukit-bukit itu sumber kehidupan yang mampu menyuplai kebutuhan pangan
atau kayu-kayuan sebagai bahan bangunan. Bahkan, dalam jangka panjang hal ini,
bukan hanya akan berperan dalam memelihara ketahanan pangan, melainkan juga dalam
hal ketahanan perumahan. Kemudian dalam hal bencana alam banjir galunggung,
bukit-bukit akan berfungsi sebagai tempat perlindungan atau pilihan tempat
evakuasi. Selain itu upaya penanganan reklamasi dari lingkungan pasca
penambangan hampir di semua lokasi belum dilakukan, karena masih banyak lahan
bekas pertambangan diterlantarkan begitu saja. Hal tersebut tentu akan menambah
permasalahan misalnya daerah tersebut menjadi rawan longsor,
Dengan adanya
galian-galian tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, khususnya bagi
masyarakat yang tinggal di daerah sekitar wilayah galian tersebut dan umumnya
bagi masyarakat Tasikmalaya. Apabila tidak ada upaya perlindungan yang
membatasi penggalian bukit-bukit tersebut, maka dikhawatirkan akan habis
sehingga generasi mendatang akan mendapatkan resiko yang lebih besar yang
ditimbulkan oleh adanya penggalian-penggalian tersebut.
Salah satu
upaya untuk pelestarian lingkungan khususnya bukit-bukit serta lahan pasca
penggalian pasir di Tasikmalaya, yaitu dengan menggunakan bentuk-bentuk
kearifan lokal.
2.
Rumusan Masalah.
Bagaimanakan
upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya
dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
MASALAH
1.
Bukit Sepuluh Ribu.
Meski tak
disebutkan kapan dan bagaimana terbentuknya secara pasti kehadiran banyak bukit
dalam wilayah Kota Tasikmalaya, tetapi beberapa pendapat peneliti misalnya,
hasil analisa Escher (1925), Zen (1968), Kusumadinata (1979), Wirakusumah
(1982), Tjia dan Sjarifudin (1983) menyebutkan, terbentuknya banyak bukit dalam
Kota Tasikmalaya, tak lepas dari keberadaan gunung galunggung dengan erupsinya
di masa lalu. Misal Menurut Escher, pada jaman prasejarah telah terjadi
longsoran hebat di sebelah tenggara Galunggung sehingga membentuk depresi dan
celah sepatu kuda (horseshoe breach). Longsoran akibat letusan
Galunggung disertai gempa vulkanik dan hujan yang terus menerus. Pasir dan
mungkin bongkahan-bongkahan batu besar hanyut dalam banjir besar itu menyusul
letusan dan hujan beberapa hari. Lama kelamaan endapan hasil longsoran dan
erosi itu terkikis kembali, dan bongkahan-bongkahan tersebut tersisa sebagai
bukit-bukit.
Peneliti Zen yang mengaitkan pendapat, F Junghun dengan bukunya Java and Madura, bahkan langsung menyebut bahwa, bukit-bukit dalam Kota Tasikmalaya terbentuk akibat letusan Galunggung Tahun 1822. Dan, sebagian lagi telah ada sebelum 1822. Sementara, Kusumadinata berpendapat, akibat longsoran hebat disertai banjir menyusul Galunggung meletus, material itu terbawa ke wilayah Kota Tasikmalaya. Selain muntahan, juga bongkahan-bongkahan besar menggeluyur ke arah Tasikmalaya sekarang. Kemudian Wirakusumah, mengajukan pendapat, terbentuknya bukit-bukit di dalam Kota Tasikmalaya sebagai hasil pengerjaan gabungan antara longsoran besar dan endapan pyroclastics. Tjia dan Sjarifudin menekankan bahwa, akibat letusan dahsyat Galunggung yang memorak-porandakan sayap tenggara Galunggung, materialnya berupa gabungan longsoran dan bongkahan yang mula-mula lambat dan berkembang menjadi longsoran batuan cepat, dibantu gelombang piroklastika pijar, kemudian menghasilkan hamparan bukit.
Peneliti Zen yang mengaitkan pendapat, F Junghun dengan bukunya Java and Madura, bahkan langsung menyebut bahwa, bukit-bukit dalam Kota Tasikmalaya terbentuk akibat letusan Galunggung Tahun 1822. Dan, sebagian lagi telah ada sebelum 1822. Sementara, Kusumadinata berpendapat, akibat longsoran hebat disertai banjir menyusul Galunggung meletus, material itu terbawa ke wilayah Kota Tasikmalaya. Selain muntahan, juga bongkahan-bongkahan besar menggeluyur ke arah Tasikmalaya sekarang. Kemudian Wirakusumah, mengajukan pendapat, terbentuknya bukit-bukit di dalam Kota Tasikmalaya sebagai hasil pengerjaan gabungan antara longsoran besar dan endapan pyroclastics. Tjia dan Sjarifudin menekankan bahwa, akibat letusan dahsyat Galunggung yang memorak-porandakan sayap tenggara Galunggung, materialnya berupa gabungan longsoran dan bongkahan yang mula-mula lambat dan berkembang menjadi longsoran batuan cepat, dibantu gelombang piroklastika pijar, kemudian menghasilkan hamparan bukit.
2.
Kearifan Lokal.
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari
kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan
kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Bentuk kearifan lokal dapat
dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible)
dan yang tidak berwujud (intangible).
A. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible),
meliputi :
a. Tekstual, Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem
nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan
tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan
prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar).
b.
Bangunan/Arsitektural
c. Benda
Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni), misalnya keris, batik.
B. Kearifan Lokal yang Tidak
Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal
yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti
petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa
nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui
petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial
disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Misalnya
kearifan lokal yang mengandung etika lingkungan sunda Hirup katungkul ku
pati, paeh teu nyaho di mangsa
(Segala sesuatu ada batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan). Kudu inget ka bali geusan ngajadi (Manusia bagian dari alam,
harus mencintai alam, tidak tepisahkan dari alam).
3. Upaya pelestarian bukit serta lahan pasca
penggalian pasir dengan pendekatan kearifan lokal.
Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan
metoda-metoda yang berasal dari nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal
(terutama dari nilai-nilai budaya Sunda dulu) dalam menangani masalah
lingkungan di lingkungannya.
Nilai-nilai budaya Sunda tua diperoleh dari suku Baduy
Dalam, Kampung Naga dan desa-desa adat lainnya di daerah Sunda, yang diturunkan
secara lisan dari orang-orang tua ke generasi dibawahnya, beserta
prasasti-prasasti yang masih ada. Menurut orang-orang tua mereka diberi tahu
bahwa ilmu mengenai tata ruang wilayah dibuat pada abad 8 dan sudah
dituliskan, pada abad ke 14, kitab-kitab tersebut dibawa oleh penjajah (Belanda
dan Portugis) untuk kepentingan mereka. Kepentingan mereka adalah kepentingan
ekonomi dengan merubah tatanan ruang di Indonesia, seperti halnya perkebunan
teh dll.
Bahasa SUNDA berasal dari SUN DA
HA, yang mengandung arti SUN adalah Diri, DA adalah Alam dan HA adalah Tuhan. Artinya kearifan lokal dapat
digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat kearifan lokal
itu berlaku.
a. DIRI, yaitu hubungan antara
manusia dengan manusia;
b. ALAM, yaitu hubungan manusia
dengan alam;
c. TUHAN, hubungan manusia dengan
Tuhan atau Sang Pencipta.
DA, yang merupakan hubungan manusia dengan
alam dengan jelas diperlihatkan oleh komunitas adat Sunda, misalnya komunitas
Baduy, Pancer Pangawinan, Kampung Naga, dan sebagainya. Dasar dalam melakukan
cinta terhadap alam diungkap dalam ungkapan Suci Ing Pamrih Rancage Gawe
. Antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu tidak terpisah. Masyarakat adat beranggapan bahwa
mereka hidup “bersama” alam, dan bukan “di” alam seperti sikap kebanyakan
anggota masyarakat modern. Oleh karena itu, masyarakat tradisional memiliki
solidaritas yang lebih kuat dengan alam. Kegiatan terhadap alam terlihat pada
ungkapan “Leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak ” (Hutan rusak,
air habis, rakyat sengsara), atau “Leuweung kaian, gawir awian, sampalan kebonan, legok balongan ” (Hutan tanami kayu, tebing
tanami bambu, tanah datar jadikan kebun, palung jadikan kolam).
Masyarakat
sunda memiliki falsafah, bahwa antara manusia dan alam merupakan sebuah bagian
yang menyatu. Manusia merupakan sebuah bagian dari sub sistem alam “seke
seler ” hingga memiliki kesamaan rasa dan ikatan batin dan lahir yang
sangat kuat.
Gunung atau bukit merupakan bagian dari alam yang
dipandang sebagai sumber
utama kehidupan, gunung juga diyakini sebagai salah satu tempat yang memberikan
unsur sistem tubuh bagi manusia dalam wujud “sari pati” yang ditransformasikan
melalui “air”. Maka penamaan bagian2 gunung pun sama dengan penamaan bagian
tubuh manusia. Sedangkan air merupakan
sebuah unsur alam yang menjadi bahan dasar terbentuknya tubuh dan jiwa manusia.
Selain itu juga air menjadi sumber bagi kebutuhan hidup manusia selamanya.
Pandangan-pandangan
tersebut diatas sesuai dengan konsep ekologi yaitu dimana hubungan timbal-balik
antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan
suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada lingkungannya akan
berpengaruh balik terhadap ekologi yang ada di sekitarnya dapat bernilai
positif dan bernilai negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang
dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab
dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya,
perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi
perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi,
pertanian, ekonomi dan sosial budaya.
Dalam upaya pelestarian bukit dan pemulihan pasca penambangan pasir, pendekatan-pendekatan yang dilakukan adalah sama dengan pendekatan
kearifan lokal yang ada di komunitas masyarakat Baduy, Kampung Naga, dan komunitas adat lainnya yang sampai saat
masih memegang teguh bagaimana menjaga ekosistemnya.Dalam pelaksanaan program
pemulihan ini, ada istilah Sunda: Silih Asih, Silih Asah dan Silih
Asuh yang artinya adalah dalam
melakukan pemulihan harus dengan rasa cinta kasih terhadap alam, yang kemudian bagaimana
kita mengasah kepekaan alam dengan terus belajar kepada alam sehingga kita bisa
menentukan bagaimana kita hidup di alam. Apabila kita bisa melakukan pepatah
Sunda ini hasilnya adalah Silih Wawangi , artinya bahwa hasilnya akan
memberikan manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri
pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
Dengan berbasis kearifan lokal ada 3 tahap pemulihan bukit
yaitu :
Tahap
1
Tahapan
penyusunan Tata Wilayah (rancangan tata ruang ) .
Tahapan
penyusunan Tata Wayah (rancangan waktu pemulihan).
Tahapan
penyusunan Tata Lampah (rancangan kerja pemulihan).
WILAYAH
WAYAH
LAMPAH
Tahap 1 caranya
adalah:
Berdasarkan
pemetaan dan pengamatan di kawasan dengan pendekatan kearifan lokal Sunda ini
maka akan didapat berapa luasan bukit yang dijadikan sebagai :
Leuweung Larangan/Titipan (tidak boleh diganggu sama sekali).
Jadi dalam hal ini ada bukit bukit tertentu yang tidak boleh dijadikan tempat
penambangan pasir. Misalnya bukit yang memiliki sumber mata air. Dan hal ini
telah diupayakan oleh Pemkot setempat dengan cara membebaskan bukit-bukit yang
memiliki sumber mata air.
Leuweung Tutupan ((kawasan hutan cadangan, bisa
digunakan jika perlu). Jadi ada bukit-bukit
tertentu yang bisa dijadikan tempat penambangan pasir bila benar-benar
diperlukan.
Leuweung Baladahan ( baladaheun, sampalan, leuweung
lembur). Untuk berhuma, berladang. Dalam hal ini
bukit-bukit inilah yang boleh digunakan atau dimanfaatkan untuk penggalian
pasir. Akan tetapi penggalian pasir ini tetap harus dibatasi dengan cara
memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian pasir.
Setelah penentuan
WILAYAH selanjutnya WAYAH yaitu diupayakan dalam hal pemeliharaan lahan pasca
penggalian pasir. Karena biasanya setelah penggalian pasir, lahan dibiarkan
begitu saja sehingga rawan longsor. Hal ini sesuai dengan kearifan lokal sampalan kebonan artinya lahan tersebut
bisa ditanami tanaman yang bermanfaat. Selanjutnya LAMPAH, hal ini sesuai
dengan etika lingkungan sunda Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah
moal ngarih. Artinya penduduk setempat harus kreatif memanfaatkan lahan dengan ditanami
tanaman yang bermanfaat. Selain mencegah
terjadinya longsor juga hasil tanaman bisa dijadikan tambahan penghasilan bagi
penduduk setempat.
Tahap 2
Pendidikan & pelatihan. (atikan ) ;
-
kasaliraan /membentuk kemampuan individu,
-
kabalareaan /membentuk kemampuan kelompok masyarakat,
-
kabuanaan /membentuk kemampuan masyarakat.
SALIRA
¯
BALAREA
¯
BUANA
Tahap 2 caranya adalah :
Untuk membentuk kemampuan individu (SALIRA) perlu
adanya pendidikan masyarakat agar mempunyai kepekaan terhadap perubahan
lingkungan di sekitarnya. Karena pengetahuan, peran dan partisifasi masyarakat
terhadap lingkungan sekitar perbukitan masih rendah. Setelah kemampuan individu
meningkat dilanjutkan dengan peningkatkan kemampuan kelompok masyarakat (BALAREA)
misalnya dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara kelembagaan sebagai
stake holder dalam pengelolaan
lingkungan perbukitan sepuluh ribu. Akhirnya sesuai dengan etika lingkungan
sunda Kudu inget ka bali geusan ngajadi artinya manusia bagian dari alam, harus mencintai alam,
tidak tepisahkan dari alam jadi seluruh
masyarakat (BALAREA) merupakan bagian
dan tidak bisa terpisahkan dari perbukitan karena itu harus mencintai dan
memelihara wilayah perbukitan yang tersisa serta memanfaatkan lahan pasca
galian pasir dengan cara ditanami oleh tanaman yang bermanfaat atau bisa juga
dijadikan areal ruang terbuka hijau sehingga bisa berkontribusi dalam
mengurangi emisi gas karbondioksida yang dapat menimbulkan pemanasan global
(global warming).
Tahap 3
Pelaksanaan pemulihan
:
- Masa sulit/nista(semua hal yg berkaitan dengan segala aspek pemulihan),
- masa sedang(pelaksanaan pemulihan yang dilakukan adalah pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan,
- masa utama(pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan.
NISTA
MADYA
UTAMA
Tahap 3 caranya
adalah :
Untuk pemulihan
lingkungan perbukitan (NISTA) yang pertama adalah adanya keberpihakan
pemerintah misalnya dibuat perda untuk memelihara perbukitan tersebut. Dari
sisi masyarakat sekitar diupayakan untuk meningkatkan pendidikan tentang
lingkungan sehingga masyarakat peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.
Selanjutnya pada pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan (MADYA)
misalnya menetapkan bukit sepuluh ribu sebagai kawasan konservasi selain itu
memperluas areal ruang terbuka hijau di daerah perkotaan karena sesuai dengan
etika sunda Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa. Segala sesuatu ada
batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan. Dan yang terakhir pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan
(UTAMA) misalnya dengan memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian
pasir dan menjalankan perda yang telah ditetapkan. Selain itu pengawasan juga
bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar yang telah mempunyai pengetahuan tentang
lingkungan disekitarnya. Jadi dalam hal ini pemerintah bersama masyarakat
berupaya untuk mengawasi lingkungan perbukitan sepuluh ribu, sesuai dengan amanat
galunggung Maka pada mulia, ku ulah, ku sabda, ku ambek (maka
bersama-sama lah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, ucapan dan itikad).
Dengan
dilaksanakannya tahap-tahap tersebut di atas mudah-mudahan akan terbentuk silih wawangi artinya terbentuknya
kawasan perbukitan yang memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya
kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
BAB III
SIMPULAN
Tasikmalaya yang selama ini dikenal
dengan kota seribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan
kategori galian liar terjadi di mana-mana. Tentu saja hal tersebut menimbulkan
dampak terutama pada lingkungan. Dampak tersebut diantaranya kekurangan air
disebabkan oleh menurunnya paras air permukaan terutama pada musim kemarau
setelah adanya aktivitas penggalian. Meningkatnya temperatur setempat
disebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, selain itu hilangnya nilai
estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Salah satu upaya untuk
mengatasi dampak-dampak yang terjadi di atas, yaitu dengan pendekatan menggunakan bentuk-bentuk kearifan lokal.
Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari
nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya
Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Dengan
dilaksanakannya pendekatan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal mudah-mudahan
akan terbentuk kawasan (lingkungan) yang
memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi
juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
REFERENSI.
Imam S. Ernawi.
(2010). Harmonisasi kearipan lokal dalam regulasi penataan ruang. www.penataanruang.net/taru/.../SinkronisasiKearifanLokal_300410.p..
Sari Wahjuni.(2010) Pemulihan
lingkungan dengan kearipan lokal. pangasuhbumi.com/.../pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal...
Yakub Malik. (2009) Jurnal
Konservasi lahan perbukitan Sepuluh ribu
kota Tasikmalaya. urnalgea.com/component/jdownloads/viewdownload/9/38.html
kota Tasikmalaya. urnalgea.com/component/jdownloads/viewdownload/9/38.html
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas
kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah
ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah llmu lingkungan.
Adapun temanya yaitu mengenai bentu-bentuk kearifan lokal dalam
kelestarian lingkungan hidup. Dari tema tersebut penulis mengangkat tentang upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di
Tasikmalaya dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan
lokal.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
Penulis.