Senin, 21 November 2011

Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pemeliharaan lingkungan hidup


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang.
Ditengah denyut perkembangan Kota Tasikmalaya kini, seolah sedikit mengusik pertanyaan, akrabnya nama-nama gunung yang mengawali nama sejumlah sudut kotanya. Di sekitar pusat kota saja misal, ada Gunung Pereng , Gunung Sabeulah, Gunung Kicau, Gunung Singa, GunungCeuri dll.  Mengamati kawasan atau daerah berembel gunung-gunung itu, cerita masyarakat setempat, mengaitkan kisah adanya sebuah gunung dulu yang rata-rata ukurannya lebih pas dalam sebutan bukit. Nama-nama itu rupanya tak ubahnya adalah bentuk toponimi (nama berdasarkan keadaan topografi daerah yang bersangkutan), yang pada mulanya memang berbentuk sebuah gunung menurut bahasa penduduk lokal, atau bukit dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam literatur geologi dikenal, Kota Tasikmalaya sebagai Kota Sepuluh Ribu Bukit. Bukit-bukit tersebut merupakan bentukan alam yang terjadi melalui proses geologis letusan gunung Galunggung ribuan tahun yang lalu, dari hasil erupsi gunung Galunggung yang terjadi beberapa kali tersebut, terbentuklah bukit-bukit kecil di sekitar Tasikmalaya. Akan tetapi Tasikmalaya yang selama ini dikenal dengan kota sepuluh ribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan kategori galian liar terjadi di mana-mana. Kegiatan penambangan pasir bukit tersebar secara sporadis di tiga kelurahan yaitu Mangkubumi, Indihiang dan Bungursari. Perbukitan di wilayah Kota Tasikmalaya memang dikenal memiliki kualitas tanah yang baik untuk bahan adukan bangunan.
Dari sisi ekologi, bukit-bukit ini memiliki peran sebagai daerah hijau dan terbuka untuk memelihara kenyamanan serta keseimbangan lingkungan, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya secara ideal. Sudah dapat dipastikan, apabila bukit kena eksploitasi dengan cara diambil batu dan pasirnya untuk kebutuhan bangunan, tentu akan memberi pengaruh terhadap kenyamanan hidup manusia sekitar, baik dari sudut pandang cuaca maupun iklim secara keseluruhan. Setidaknya, kita kini semakin merasakan,  suhu daerah yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Dari sudut hidrologi, keberadaan bukit-bukit berfungsi sebagai daerah resapan air yang akan mampu memelihara stabilitas sumber dan kedalaman air tanah. Dengan makin berkurangnya bukit yang berjumlah banyak itu, maka makin berkurang dan kedalamannya semakin tinggi. Diperkirakan, lama kelamaan Kota Tasikmalaya akan terkesan kering dan gersang. Kesulitan air dirasakan daerah tertentu, kecuali itu tak memiliki atau hilangnya nilai estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Adapun secara ekonomi, bukit-bukit itu sumber kehidupan yang mampu menyuplai kebutuhan pangan atau kayu-kayuan sebagai bahan bangunan. Bahkan, dalam jangka panjang hal ini, bukan hanya akan berperan dalam memelihara ketahanan pangan, melainkan juga dalam hal ketahanan perumahan. Kemudian dalam hal bencana alam banjir galunggung, bukit-bukit akan berfungsi sebagai tempat perlindungan atau pilihan tempat evakuasi. Selain itu upaya penanganan reklamasi dari lingkungan pasca penambangan hampir di semua lokasi belum dilakukan, karena masih banyak lahan bekas pertambangan diterlantarkan begitu saja. Hal tersebut tentu akan menambah permasalahan misalnya daerah tersebut menjadi rawan longsor,
Dengan adanya galian-galian tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitar wilayah galian tersebut dan umumnya bagi masyarakat Tasikmalaya. Apabila tidak ada upaya perlindungan yang membatasi penggalian bukit-bukit tersebut, maka dikhawatirkan akan habis sehingga generasi mendatang akan mendapatkan resiko yang lebih besar yang ditimbulkan oleh adanya penggalian-penggalian tersebut. 
Salah satu upaya untuk pelestarian lingkungan khususnya bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya, yaitu dengan menggunakan bentuk-bentuk kearifan lokal.

2.      Rumusan Masalah.
Bagaimanakan upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan lokal.  



BAB   II
PEMBAHASAN MASALAH

1.      Bukit Sepuluh Ribu.
Meski tak disebutkan kapan dan bagaimana terbentuknya secara pasti kehadiran banyak bukit dalam wilayah Kota Tasikmalaya, tetapi beberapa pendapat peneliti misalnya, hasil analisa Escher (1925), Zen (1968), Kusumadinata (1979), Wirakusumah (1982), Tjia dan Sjarifudin (1983) menyebutkan, terbentuknya banyak bukit dalam Kota Tasikmalaya, tak lepas dari keberadaan gunung galunggung dengan erupsinya di masa lalu. Misal Menurut Escher, pada jaman prasejarah telah terjadi longsoran hebat di sebelah tenggara Galunggung sehingga membentuk depresi dan celah sepatu kuda (horseshoe breach). Longsoran akibat letusan Galunggung disertai gempa vulkanik dan hujan yang terus menerus. Pasir dan mungkin bongkahan-bongkahan batu besar hanyut dalam banjir besar itu menyusul letusan dan hujan beberapa hari. Lama kelamaan endapan hasil longsoran dan erosi itu terkikis kembali, dan bongkahan-bongkahan tersebut tersisa sebagai bukit-bukit.
              Peneliti Zen yang mengaitkan pendapat, F Junghun dengan bukunya Java and Madura, bahkan langsung menyebut bahwa, bukit-bukit dalam Kota Tasikmalaya terbentuk akibat letusan Galunggung Tahun 1822. Dan, sebagian lagi telah ada sebelum 1822. Sementara, Kusumadinata berpendapat, akibat longsoran hebat disertai banjir menyusul Galunggung meletus, material itu terbawa ke wilayah Kota Tasikmalaya. Selain muntahan, juga bongkahan-bongkahan besar menggeluyur ke arah Tasikmalaya sekarang. Kemudian Wirakusumah, mengajukan  pendapat, terbentuknya bukit-bukit di dalam Kota Tasikmalaya sebagai hasil pengerjaan gabungan antara longsoran besar dan endapan pyroclastics. Tjia dan Sjarifudin menekankan bahwa, akibat letusan dahsyat Galunggung yang memorak-porandakan sayap tenggara Galunggung, materialnya berupa gabungan longsoran dan bongkahan yang mula-mula lambat dan berkembang menjadi longsoran batuan cepat, dibantu gelombang piroklastika pijar, kemudian menghasilkan hamparan bukit.

2.      Kearifan Lokal.
            Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain  maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local)  yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. 
              Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
A.     Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible), meliputi :                     
a.    Tekstual, Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar).
b.         Bangunan/Arsitektural
c.     Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni), misalnya keris, batik.
           B.  Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
                 Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.  Misalnya  kearifan lokal yang mengandung etika lingkungan sunda Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa (Segala sesuatu ada batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan). Kudu inget ka bali geusan ngajadi (Manusia bagian dari alam, harus mencintai alam, tidak tepisahkan dari alam).
3.      Upaya pelestarian bukit serta lahan pasca penggalian pasir dengan pendekatan kearifan lokal.
Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Nilai-nilai budaya Sunda tua diperoleh dari suku Baduy Dalam, Kampung Naga dan desa-desa adat lainnya di daerah Sunda, yang diturunkan secara lisan dari orang-orang tua ke generasi dibawahnya, beserta prasasti-prasasti yang masih ada. Menurut orang-orang tua mereka diberi tahu bahwa ilmu mengenai tata ruang wilayah  dibuat pada abad 8 dan sudah dituliskan, pada abad ke 14, kitab-kitab tersebut dibawa oleh penjajah (Belanda dan Portugis) untuk kepentingan mereka. Kepentingan mereka adalah kepentingan ekonomi dengan merubah tatanan ruang di Indonesia, seperti halnya perkebunan teh dll.
             Bahasa SUNDA berasal dari SUN DA HA, yang mengandung arti SUN adalah Diri, DA adalah Alam dan HA adalah Tuhan. Artinya kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat kearifan lokal itu berlaku.
a.   DIRI, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia;                                           
b.   ALAM, yaitu hubungan manusia dengan alam;
c.  TUHAN, hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
DA, yang merupakan hubungan manusia dengan alam dengan jelas diperlihatkan oleh komunitas adat Sunda, misalnya komunitas Baduy, Pancer Pangawinan, Kampung Naga, dan sebagainya. Dasar dalam melakukan cinta terhadap alam diungkap dalam ungkapan Suci Ing Pamrih Rancage Gawe . Antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu tidak terpisah. Masyarakat adat beranggapan bahwa mereka hidup “bersama” alam, dan bukan “di” alam seperti sikap kebanyakan anggota masyarakat modern. Oleh karena itu, masyarakat tradisional memiliki solidaritas yang lebih kuat dengan alam. Kegiatan terhadap alam terlihat pada ungkapan “Leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak ” (Hutan rusak, air habis, rakyat sengsara), atau “Leuweung kaian, gawir awian, sampalan kebonan, legok balongan ” (Hutan tanami kayu, tebing tanami bambu, tanah datar jadikan kebun,  palung jadikan kolam).
Masyarakat sunda memiliki falsafah, bahwa antara manusia dan alam merupakan sebuah bagian yang menyatu. Manusia merupakan sebuah bagian dari sub sistem alam “seke seler ” hingga memiliki kesamaan rasa dan ikatan batin dan lahir yang sangat kuat.
Gunung atau bukit merupakan bagian dari alam yang dipandang sebagai sumber utama kehidupan, gunung juga diyakini sebagai salah satu tempat yang memberikan unsur sistem tubuh bagi manusia dalam wujud “sari pati” yang ditransformasikan melalui “air”. Maka penamaan bagian2 gunung pun sama dengan penamaan bagian tubuh manusia. Sedangkan air merupakan sebuah unsur alam yang menjadi bahan dasar terbentuknya tubuh dan jiwa manusia. Selain itu juga air menjadi sumber bagi kebutuhan hidup manusia selamanya.
Pandangan-pandangan tersebut diatas sesuai dengan konsep ekologi yaitu dimana hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada lingkungannya akan berpengaruh balik terhadap ekologi yang ada di sekitarnya dapat bernilai positif dan bernilai negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi, pertanian, ekonomi dan sosial budaya.
Dalam upaya pelestarian bukit dan pemulihan pasca penambangan pasir, pendekatan-pendekatan yang dilakukan adalah sama dengan pendekatan kearifan lokal yang ada di komunitas masyarakat Baduy, Kampung Naga, dan komunitas adat lainnya yang sampai saat masih memegang teguh bagaimana menjaga ekosistemnya.Dalam pelaksanaan program pemulihan ini, ada istilah Sunda: Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh  yang artinya adalah dalam melakukan pemulihan harus dengan rasa cinta kasih terhadap alam, yang kemudian bagaimana kita mengasah kepekaan alam dengan terus belajar kepada alam sehingga kita bisa menentukan bagaimana kita hidup di alam. Apabila kita bisa melakukan pepatah Sunda ini hasilnya adalah Silih Wawangi , artinya bahwa hasilnya akan memberikan manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
Dengan berbasis kearifan lokal ada 3 tahap pemulihan bukit yaitu  :
Tahap 1
Tahapan penyusunan Tata Wilayah (rancangan tata ruang ) .
Tahapan penyusunan Tata Wayah (rancangan waktu pemulihan).
Tahapan penyusunan Tata Lampah (rancangan kerja pemulihan). 
WILAYAH

WAYAH

LAMPAH 
Tahap 1 caranya adalah:
Berdasarkan pemetaan dan pengamatan di kawasan dengan pendekatan kearifan lokal Sunda ini maka akan didapat berapa luasan bukit yang dijadikan sebagai :
 Leuweung Larangan/Titipan (tidak boleh diganggu sama sekali). Jadi dalam hal ini ada bukit bukit tertentu yang tidak boleh dijadikan tempat penambangan pasir. Misalnya bukit yang memiliki sumber mata air. Dan hal ini telah diupayakan oleh Pemkot setempat dengan cara membebaskan bukit-bukit yang memiliki sumber mata air.
Leuweung Tutupan ((kawasan hutan cadangan, bisa digunakan jika perlu). Jadi ada bukit-bukit tertentu yang bisa dijadikan tempat penambangan pasir bila benar-benar diperlukan.
 Leuweung Baladahan ( baladaheun, sampalan, leuweung lembur). Untuk berhuma, berladang. Dalam hal ini bukit-bukit inilah yang boleh digunakan atau dimanfaatkan untuk penggalian pasir. Akan tetapi penggalian pasir ini tetap harus dibatasi dengan cara memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian pasir.
Setelah penentuan WILAYAH selanjutnya WAYAH yaitu diupayakan dalam hal pemeliharaan lahan pasca penggalian pasir. Karena biasanya setelah penggalian pasir, lahan dibiarkan begitu saja sehingga rawan longsor. Hal ini sesuai dengan kearifan lokal sampalan kebonan artinya lahan tersebut bisa ditanami tanaman yang bermanfaat. Selanjutnya LAMPAH, hal ini sesuai dengan etika lingkungan sunda Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih. Artinya penduduk setempat harus kreatif memanfaatkan lahan dengan ditanami tanaman yang bermanfaat. Selain mencegah terjadinya longsor juga hasil tanaman  bisa dijadikan tambahan penghasilan bagi penduduk setempat.
Tahap 2
Pendidikan & pelatihan. (atikan ) ;
-         kasaliraan /membentuk kemampuan individu,
-         kabalareaan /membentuk kemampuan kelompok masyarakat,
-         kabuanaan /membentuk kemampuan masyarakat. 
SALIRA
¯
BALAREA
¯
                                                                   BUANA
Tahap 2 caranya adalah :
Untuk membentuk kemampuan individu (SALIRA) perlu adanya pendidikan masyarakat agar mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Karena pengetahuan, peran dan partisifasi masyarakat terhadap lingkungan sekitar perbukitan masih rendah. Setelah kemampuan individu meningkat dilanjutkan dengan peningkatkan  kemampuan kelompok masyarakat (BALAREA) misalnya dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara kelembagaan sebagai stake holder  dalam pengelolaan lingkungan perbukitan sepuluh ribu. Akhirnya sesuai dengan etika lingkungan sunda Kudu inget ka bali geusan ngajadi  artinya manusia bagian dari alam, harus mencintai alam, tidak tepisahkan dari alam jadi seluruh masyarakat (BALAREA)  merupakan bagian dan tidak bisa terpisahkan dari perbukitan karena itu harus mencintai dan memelihara wilayah perbukitan yang tersisa serta memanfaatkan lahan pasca galian pasir dengan cara ditanami oleh tanaman yang bermanfaat atau bisa juga dijadikan areal ruang terbuka hijau sehingga bisa berkontribusi dalam mengurangi emisi gas karbondioksida yang dapat menimbulkan pemanasan global (global warming).
Tahap 3   
Pelaksanaan pemulihan :
  1. Masa sulit/nista(semua hal yg berkaitan dengan segala aspek pemulihan),
  2. masa sedang(pelaksanaan pemulihan yang dilakukan adalah pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan,
  3. masa utama(pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan.
NISTA
MADYA
UTAMA
Tahap 3 caranya adalah  :
Untuk pemulihan lingkungan perbukitan (NISTA) yang pertama adalah adanya keberpihakan pemerintah misalnya dibuat perda untuk memelihara perbukitan tersebut. Dari sisi masyarakat sekitar diupayakan untuk meningkatkan pendidikan tentang lingkungan sehingga masyarakat peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Selanjutnya pada pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan (MADYA) misalnya menetapkan bukit sepuluh ribu sebagai kawasan konservasi selain itu memperluas areal ruang terbuka hijau di daerah perkotaan karena sesuai dengan etika sunda Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa. Segala sesuatu ada batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan. Dan yang terakhir pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan (UTAMA) misalnya dengan memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian pasir dan menjalankan perda yang telah ditetapkan. Selain itu pengawasan juga bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar yang telah mempunyai pengetahuan tentang lingkungan disekitarnya. Jadi dalam hal ini pemerintah bersama masyarakat berupaya untuk mengawasi lingkungan  perbukitan sepuluh ribu, sesuai dengan amanat galunggung Maka pada mulia, ku ulah, ku sabda, ku ambek (maka bersama-sama lah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, ucapan dan itikad).
Dengan dilaksanakannya tahap-tahap tersebut di atas mudah-mudahan akan terbentuk silih wawangi artinya terbentuknya kawasan perbukitan yang memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.








BAB    III
SIMPULAN

        Tasikmalaya yang selama ini dikenal dengan kota seribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan kategori galian liar terjadi di mana-mana. Tentu saja hal tersebut menimbulkan dampak terutama pada lingkungan. Dampak tersebut diantaranya kekurangan air disebabkan oleh menurunnya paras air permukaan terutama pada musim kemarau setelah adanya aktivitas penggalian. Meningkatnya temperatur setempat disebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, selain itu hilangnya nilai estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Salah satu upaya untuk mengatasi dampak-dampak yang terjadi di atas, yaitu dengan pendekatan  menggunakan bentuk-bentuk kearifan lokal. Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Dengan dilaksanakannya pendekatan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal mudah-mudahan akan terbentuk kawasan  (lingkungan) yang memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
REFERENSI.
Imam S. Ernawi. (2010). Harmonisasi kearipan lokal dalam regulasi penataan ruang. www.penataanruang.net/taru/.../SinkronisasiKearifanLokal_300410.p..
Sari Wahjuni.(2010) Pemulihan lingkungan dengan kearipan lokal. pangasuhbumi.com/.../pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal...
Yakub Malik. (2009) Jurnal Konservasi lahan perbukitan Sepuluh ribu
kota Tasikmalaya. urnalgea.com/component/jdownloads/viewdownload/9/38.html


KATA PENGANTAR
                 Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
              Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah llmu lingkungan.  Adapun temanya yaitu mengenai bentu-bentuk kearifan lokal dalam kelestarian lingkungan hidup. Dari tema tersebut penulis mengangkat tentang upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan lokal. 
               Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...


                                                                                                     Penulis.