Senin, 21 November 2011

Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pemeliharaan lingkungan hidup


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang.
Ditengah denyut perkembangan Kota Tasikmalaya kini, seolah sedikit mengusik pertanyaan, akrabnya nama-nama gunung yang mengawali nama sejumlah sudut kotanya. Di sekitar pusat kota saja misal, ada Gunung Pereng , Gunung Sabeulah, Gunung Kicau, Gunung Singa, GunungCeuri dll.  Mengamati kawasan atau daerah berembel gunung-gunung itu, cerita masyarakat setempat, mengaitkan kisah adanya sebuah gunung dulu yang rata-rata ukurannya lebih pas dalam sebutan bukit. Nama-nama itu rupanya tak ubahnya adalah bentuk toponimi (nama berdasarkan keadaan topografi daerah yang bersangkutan), yang pada mulanya memang berbentuk sebuah gunung menurut bahasa penduduk lokal, atau bukit dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam literatur geologi dikenal, Kota Tasikmalaya sebagai Kota Sepuluh Ribu Bukit. Bukit-bukit tersebut merupakan bentukan alam yang terjadi melalui proses geologis letusan gunung Galunggung ribuan tahun yang lalu, dari hasil erupsi gunung Galunggung yang terjadi beberapa kali tersebut, terbentuklah bukit-bukit kecil di sekitar Tasikmalaya. Akan tetapi Tasikmalaya yang selama ini dikenal dengan kota sepuluh ribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan kategori galian liar terjadi di mana-mana. Kegiatan penambangan pasir bukit tersebar secara sporadis di tiga kelurahan yaitu Mangkubumi, Indihiang dan Bungursari. Perbukitan di wilayah Kota Tasikmalaya memang dikenal memiliki kualitas tanah yang baik untuk bahan adukan bangunan.
Dari sisi ekologi, bukit-bukit ini memiliki peran sebagai daerah hijau dan terbuka untuk memelihara kenyamanan serta keseimbangan lingkungan, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya secara ideal. Sudah dapat dipastikan, apabila bukit kena eksploitasi dengan cara diambil batu dan pasirnya untuk kebutuhan bangunan, tentu akan memberi pengaruh terhadap kenyamanan hidup manusia sekitar, baik dari sudut pandang cuaca maupun iklim secara keseluruhan. Setidaknya, kita kini semakin merasakan,  suhu daerah yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Dari sudut hidrologi, keberadaan bukit-bukit berfungsi sebagai daerah resapan air yang akan mampu memelihara stabilitas sumber dan kedalaman air tanah. Dengan makin berkurangnya bukit yang berjumlah banyak itu, maka makin berkurang dan kedalamannya semakin tinggi. Diperkirakan, lama kelamaan Kota Tasikmalaya akan terkesan kering dan gersang. Kesulitan air dirasakan daerah tertentu, kecuali itu tak memiliki atau hilangnya nilai estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Adapun secara ekonomi, bukit-bukit itu sumber kehidupan yang mampu menyuplai kebutuhan pangan atau kayu-kayuan sebagai bahan bangunan. Bahkan, dalam jangka panjang hal ini, bukan hanya akan berperan dalam memelihara ketahanan pangan, melainkan juga dalam hal ketahanan perumahan. Kemudian dalam hal bencana alam banjir galunggung, bukit-bukit akan berfungsi sebagai tempat perlindungan atau pilihan tempat evakuasi. Selain itu upaya penanganan reklamasi dari lingkungan pasca penambangan hampir di semua lokasi belum dilakukan, karena masih banyak lahan bekas pertambangan diterlantarkan begitu saja. Hal tersebut tentu akan menambah permasalahan misalnya daerah tersebut menjadi rawan longsor,
Dengan adanya galian-galian tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitar wilayah galian tersebut dan umumnya bagi masyarakat Tasikmalaya. Apabila tidak ada upaya perlindungan yang membatasi penggalian bukit-bukit tersebut, maka dikhawatirkan akan habis sehingga generasi mendatang akan mendapatkan resiko yang lebih besar yang ditimbulkan oleh adanya penggalian-penggalian tersebut. 
Salah satu upaya untuk pelestarian lingkungan khususnya bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya, yaitu dengan menggunakan bentuk-bentuk kearifan lokal.

2.      Rumusan Masalah.
Bagaimanakan upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan lokal.  



BAB   II
PEMBAHASAN MASALAH

1.      Bukit Sepuluh Ribu.
Meski tak disebutkan kapan dan bagaimana terbentuknya secara pasti kehadiran banyak bukit dalam wilayah Kota Tasikmalaya, tetapi beberapa pendapat peneliti misalnya, hasil analisa Escher (1925), Zen (1968), Kusumadinata (1979), Wirakusumah (1982), Tjia dan Sjarifudin (1983) menyebutkan, terbentuknya banyak bukit dalam Kota Tasikmalaya, tak lepas dari keberadaan gunung galunggung dengan erupsinya di masa lalu. Misal Menurut Escher, pada jaman prasejarah telah terjadi longsoran hebat di sebelah tenggara Galunggung sehingga membentuk depresi dan celah sepatu kuda (horseshoe breach). Longsoran akibat letusan Galunggung disertai gempa vulkanik dan hujan yang terus menerus. Pasir dan mungkin bongkahan-bongkahan batu besar hanyut dalam banjir besar itu menyusul letusan dan hujan beberapa hari. Lama kelamaan endapan hasil longsoran dan erosi itu terkikis kembali, dan bongkahan-bongkahan tersebut tersisa sebagai bukit-bukit.
              Peneliti Zen yang mengaitkan pendapat, F Junghun dengan bukunya Java and Madura, bahkan langsung menyebut bahwa, bukit-bukit dalam Kota Tasikmalaya terbentuk akibat letusan Galunggung Tahun 1822. Dan, sebagian lagi telah ada sebelum 1822. Sementara, Kusumadinata berpendapat, akibat longsoran hebat disertai banjir menyusul Galunggung meletus, material itu terbawa ke wilayah Kota Tasikmalaya. Selain muntahan, juga bongkahan-bongkahan besar menggeluyur ke arah Tasikmalaya sekarang. Kemudian Wirakusumah, mengajukan  pendapat, terbentuknya bukit-bukit di dalam Kota Tasikmalaya sebagai hasil pengerjaan gabungan antara longsoran besar dan endapan pyroclastics. Tjia dan Sjarifudin menekankan bahwa, akibat letusan dahsyat Galunggung yang memorak-porandakan sayap tenggara Galunggung, materialnya berupa gabungan longsoran dan bongkahan yang mula-mula lambat dan berkembang menjadi longsoran batuan cepat, dibantu gelombang piroklastika pijar, kemudian menghasilkan hamparan bukit.

2.      Kearifan Lokal.
            Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain  maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local)  yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. 
              Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
A.     Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible), meliputi :                     
a.    Tekstual, Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar).
b.         Bangunan/Arsitektural
c.     Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni), misalnya keris, batik.
           B.  Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
                 Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.  Misalnya  kearifan lokal yang mengandung etika lingkungan sunda Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa (Segala sesuatu ada batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan). Kudu inget ka bali geusan ngajadi (Manusia bagian dari alam, harus mencintai alam, tidak tepisahkan dari alam).
3.      Upaya pelestarian bukit serta lahan pasca penggalian pasir dengan pendekatan kearifan lokal.
Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Nilai-nilai budaya Sunda tua diperoleh dari suku Baduy Dalam, Kampung Naga dan desa-desa adat lainnya di daerah Sunda, yang diturunkan secara lisan dari orang-orang tua ke generasi dibawahnya, beserta prasasti-prasasti yang masih ada. Menurut orang-orang tua mereka diberi tahu bahwa ilmu mengenai tata ruang wilayah  dibuat pada abad 8 dan sudah dituliskan, pada abad ke 14, kitab-kitab tersebut dibawa oleh penjajah (Belanda dan Portugis) untuk kepentingan mereka. Kepentingan mereka adalah kepentingan ekonomi dengan merubah tatanan ruang di Indonesia, seperti halnya perkebunan teh dll.
             Bahasa SUNDA berasal dari SUN DA HA, yang mengandung arti SUN adalah Diri, DA adalah Alam dan HA adalah Tuhan. Artinya kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat kearifan lokal itu berlaku.
a.   DIRI, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia;                                           
b.   ALAM, yaitu hubungan manusia dengan alam;
c.  TUHAN, hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
DA, yang merupakan hubungan manusia dengan alam dengan jelas diperlihatkan oleh komunitas adat Sunda, misalnya komunitas Baduy, Pancer Pangawinan, Kampung Naga, dan sebagainya. Dasar dalam melakukan cinta terhadap alam diungkap dalam ungkapan Suci Ing Pamrih Rancage Gawe . Antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu tidak terpisah. Masyarakat adat beranggapan bahwa mereka hidup “bersama” alam, dan bukan “di” alam seperti sikap kebanyakan anggota masyarakat modern. Oleh karena itu, masyarakat tradisional memiliki solidaritas yang lebih kuat dengan alam. Kegiatan terhadap alam terlihat pada ungkapan “Leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak ” (Hutan rusak, air habis, rakyat sengsara), atau “Leuweung kaian, gawir awian, sampalan kebonan, legok balongan ” (Hutan tanami kayu, tebing tanami bambu, tanah datar jadikan kebun,  palung jadikan kolam).
Masyarakat sunda memiliki falsafah, bahwa antara manusia dan alam merupakan sebuah bagian yang menyatu. Manusia merupakan sebuah bagian dari sub sistem alam “seke seler ” hingga memiliki kesamaan rasa dan ikatan batin dan lahir yang sangat kuat.
Gunung atau bukit merupakan bagian dari alam yang dipandang sebagai sumber utama kehidupan, gunung juga diyakini sebagai salah satu tempat yang memberikan unsur sistem tubuh bagi manusia dalam wujud “sari pati” yang ditransformasikan melalui “air”. Maka penamaan bagian2 gunung pun sama dengan penamaan bagian tubuh manusia. Sedangkan air merupakan sebuah unsur alam yang menjadi bahan dasar terbentuknya tubuh dan jiwa manusia. Selain itu juga air menjadi sumber bagi kebutuhan hidup manusia selamanya.
Pandangan-pandangan tersebut diatas sesuai dengan konsep ekologi yaitu dimana hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada lingkungannya akan berpengaruh balik terhadap ekologi yang ada di sekitarnya dapat bernilai positif dan bernilai negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi, pertanian, ekonomi dan sosial budaya.
Dalam upaya pelestarian bukit dan pemulihan pasca penambangan pasir, pendekatan-pendekatan yang dilakukan adalah sama dengan pendekatan kearifan lokal yang ada di komunitas masyarakat Baduy, Kampung Naga, dan komunitas adat lainnya yang sampai saat masih memegang teguh bagaimana menjaga ekosistemnya.Dalam pelaksanaan program pemulihan ini, ada istilah Sunda: Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh  yang artinya adalah dalam melakukan pemulihan harus dengan rasa cinta kasih terhadap alam, yang kemudian bagaimana kita mengasah kepekaan alam dengan terus belajar kepada alam sehingga kita bisa menentukan bagaimana kita hidup di alam. Apabila kita bisa melakukan pepatah Sunda ini hasilnya adalah Silih Wawangi , artinya bahwa hasilnya akan memberikan manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
Dengan berbasis kearifan lokal ada 3 tahap pemulihan bukit yaitu  :
Tahap 1
Tahapan penyusunan Tata Wilayah (rancangan tata ruang ) .
Tahapan penyusunan Tata Wayah (rancangan waktu pemulihan).
Tahapan penyusunan Tata Lampah (rancangan kerja pemulihan). 
WILAYAH

WAYAH

LAMPAH 
Tahap 1 caranya adalah:
Berdasarkan pemetaan dan pengamatan di kawasan dengan pendekatan kearifan lokal Sunda ini maka akan didapat berapa luasan bukit yang dijadikan sebagai :
 Leuweung Larangan/Titipan (tidak boleh diganggu sama sekali). Jadi dalam hal ini ada bukit bukit tertentu yang tidak boleh dijadikan tempat penambangan pasir. Misalnya bukit yang memiliki sumber mata air. Dan hal ini telah diupayakan oleh Pemkot setempat dengan cara membebaskan bukit-bukit yang memiliki sumber mata air.
Leuweung Tutupan ((kawasan hutan cadangan, bisa digunakan jika perlu). Jadi ada bukit-bukit tertentu yang bisa dijadikan tempat penambangan pasir bila benar-benar diperlukan.
 Leuweung Baladahan ( baladaheun, sampalan, leuweung lembur). Untuk berhuma, berladang. Dalam hal ini bukit-bukit inilah yang boleh digunakan atau dimanfaatkan untuk penggalian pasir. Akan tetapi penggalian pasir ini tetap harus dibatasi dengan cara memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian pasir.
Setelah penentuan WILAYAH selanjutnya WAYAH yaitu diupayakan dalam hal pemeliharaan lahan pasca penggalian pasir. Karena biasanya setelah penggalian pasir, lahan dibiarkan begitu saja sehingga rawan longsor. Hal ini sesuai dengan kearifan lokal sampalan kebonan artinya lahan tersebut bisa ditanami tanaman yang bermanfaat. Selanjutnya LAMPAH, hal ini sesuai dengan etika lingkungan sunda Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih. Artinya penduduk setempat harus kreatif memanfaatkan lahan dengan ditanami tanaman yang bermanfaat. Selain mencegah terjadinya longsor juga hasil tanaman  bisa dijadikan tambahan penghasilan bagi penduduk setempat.
Tahap 2
Pendidikan & pelatihan. (atikan ) ;
-         kasaliraan /membentuk kemampuan individu,
-         kabalareaan /membentuk kemampuan kelompok masyarakat,
-         kabuanaan /membentuk kemampuan masyarakat. 
SALIRA
¯
BALAREA
¯
                                                                   BUANA
Tahap 2 caranya adalah :
Untuk membentuk kemampuan individu (SALIRA) perlu adanya pendidikan masyarakat agar mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Karena pengetahuan, peran dan partisifasi masyarakat terhadap lingkungan sekitar perbukitan masih rendah. Setelah kemampuan individu meningkat dilanjutkan dengan peningkatkan  kemampuan kelompok masyarakat (BALAREA) misalnya dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara kelembagaan sebagai stake holder  dalam pengelolaan lingkungan perbukitan sepuluh ribu. Akhirnya sesuai dengan etika lingkungan sunda Kudu inget ka bali geusan ngajadi  artinya manusia bagian dari alam, harus mencintai alam, tidak tepisahkan dari alam jadi seluruh masyarakat (BALAREA)  merupakan bagian dan tidak bisa terpisahkan dari perbukitan karena itu harus mencintai dan memelihara wilayah perbukitan yang tersisa serta memanfaatkan lahan pasca galian pasir dengan cara ditanami oleh tanaman yang bermanfaat atau bisa juga dijadikan areal ruang terbuka hijau sehingga bisa berkontribusi dalam mengurangi emisi gas karbondioksida yang dapat menimbulkan pemanasan global (global warming).
Tahap 3   
Pelaksanaan pemulihan :
  1. Masa sulit/nista(semua hal yg berkaitan dengan segala aspek pemulihan),
  2. masa sedang(pelaksanaan pemulihan yang dilakukan adalah pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan,
  3. masa utama(pelaksanaan pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan.
NISTA
MADYA
UTAMA
Tahap 3 caranya adalah  :
Untuk pemulihan lingkungan perbukitan (NISTA) yang pertama adalah adanya keberpihakan pemerintah misalnya dibuat perda untuk memelihara perbukitan tersebut. Dari sisi masyarakat sekitar diupayakan untuk meningkatkan pendidikan tentang lingkungan sehingga masyarakat peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Selanjutnya pada pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pemeliharaan (MADYA) misalnya menetapkan bukit sepuluh ribu sebagai kawasan konservasi selain itu memperluas areal ruang terbuka hijau di daerah perkotaan karena sesuai dengan etika sunda Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa. Segala sesuatu ada batasnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan. Dan yang terakhir pemulihan yang memprioritaskan pada aspek pengawasan (UTAMA) misalnya dengan memperketat/membatasi pemberian izin usaha penggalian pasir dan menjalankan perda yang telah ditetapkan. Selain itu pengawasan juga bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar yang telah mempunyai pengetahuan tentang lingkungan disekitarnya. Jadi dalam hal ini pemerintah bersama masyarakat berupaya untuk mengawasi lingkungan  perbukitan sepuluh ribu, sesuai dengan amanat galunggung Maka pada mulia, ku ulah, ku sabda, ku ambek (maka bersama-sama lah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, ucapan dan itikad).
Dengan dilaksanakannya tahap-tahap tersebut di atas mudah-mudahan akan terbentuk silih wawangi artinya terbentuknya kawasan perbukitan yang memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.








BAB    III
SIMPULAN

        Tasikmalaya yang selama ini dikenal dengan kota seribu bukit, kini terancam pupus. Pasalnya, kegiatan penambangan kategori galian liar terjadi di mana-mana. Tentu saja hal tersebut menimbulkan dampak terutama pada lingkungan. Dampak tersebut diantaranya kekurangan air disebabkan oleh menurunnya paras air permukaan terutama pada musim kemarau setelah adanya aktivitas penggalian. Meningkatnya temperatur setempat disebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, selain itu hilangnya nilai estetika lingkungan yang memadai untuk kehidupan. Salah satu upaya untuk mengatasi dampak-dampak yang terjadi di atas, yaitu dengan pendekatan  menggunakan bentuk-bentuk kearifan lokal. Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Dengan dilaksanakannya pendekatan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal mudah-mudahan akan terbentuk kawasan  (lingkungan) yang memberikan hasil atau manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.
REFERENSI.
Imam S. Ernawi. (2010). Harmonisasi kearipan lokal dalam regulasi penataan ruang. www.penataanruang.net/taru/.../SinkronisasiKearifanLokal_300410.p..
Sari Wahjuni.(2010) Pemulihan lingkungan dengan kearipan lokal. pangasuhbumi.com/.../pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal...
Yakub Malik. (2009) Jurnal Konservasi lahan perbukitan Sepuluh ribu
kota Tasikmalaya. urnalgea.com/component/jdownloads/viewdownload/9/38.html


KATA PENGANTAR
                 Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
              Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah llmu lingkungan.  Adapun temanya yaitu mengenai bentu-bentuk kearifan lokal dalam kelestarian lingkungan hidup. Dari tema tersebut penulis mengangkat tentang upaya pelestarian bukit-bukit serta lahan pasca penggalian pasir di Tasikmalaya dengan cara menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kearifan lokal. 
               Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...


                                                                                                     Penulis.



Minggu, 30 Oktober 2011

KEPEMIMPINAN VISIONER DAN TRANFORMASIONAL

KEPEMIMPINAN VISIONER DAN TRANSFORMASIONAL
BAB   I
PENDAHULUAN

Gejolak perubahan yang berlangsung secara cepat mengakibatkan kesementaraan menjadi sifat hakiki dari kegiatan usaha di masa depan. Berbagai kegiatan menghadapi berbagai kondisi paradoksial yang penuh ketidakpastian. Organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga di seluruh dunia dirongrong oleh faktor-faktor eksternal yang memaksa mereka untuk berubah secara drastis.
 Inisiatif untuk melakukan perubahan dengan berbagai upaya sistematik, banyak dilakukan perusahaan, organisasi maupun lembaga. Hasil dari upaya-upaya ini banyak yang berhasil, namun banyak pula yang gagal. Salah satu penentu yang menyebabkan berhasil atau tidaknya suatu organisasi adalah masalah kepemimpinan.
Kepemimpinan merupakan lokomotif organisasi yang selalu menarik dibicarakan. Daya tarik ini didasarkan pada latar historis yang menunjukkan arti penting keberadaan seorang pemimpin dalam setiap kegiatan kelompok dan kenyataan bahwa kepemimpinan merupakan sentrum dalam pola interaksi antar komponen organisasi (Suarjaya dan Akib, Usahawan bulan Nopember 2003: 42). Lebih dari itu, kepemimpinan dan peranan pemimpin menentukan kelahiran, pertumbuhan dan kedewasaan serta kematian organisasi.
Pemimpin yang memiliki kegesitan, kecepatan serta mampu beradaptasi dalam membawa jalannya organisasi memiliki peran yang penting dalam menghadapi kondisi organisasi yang senantiasa mengalami perubahan. Sebab, fleksibilitas organisasi pada dasarnya merupakan karya orang-orang yang mampu bertindak proaktif, kreatif, inovatif dan non konvensional. Pribadi-pribadi seperti inilah yang dibutuhkan sebagai pemimpin organisasi saat ini. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas ke arah mana organisasi akan di bawa.
Dalam makalah yang ringkas ini, hanya akan membahas pengertian dan karakteristik  serta langkah-langkah strategis kepemimpinan visioner dan transformasional yang merujuk kepada pendapat para ahli.


BAB  II
PEMBAHASAN MASALAH

A.     Pengertian kepemimpinan visioner dan trasformasional.
Ada beberapa pengertian kepemimpinan visioner menurut para ahli, diantaranya :
Seth Kahan (2002), menjelaskan bahwa kepemimpinan visioner melibatkan kesanggupan, kemampuan, kepiawaian yang luar biasa untuk menawarkan kesuksesan dan kejayaan di masa depan. Seorang pemimpin yang visioner mampu mengantisipasi segala kejadian yang mungkin timbul, mengelola masa depan dan mendorong orang lain utuk berbuat dengan cara-cara yang tepat. Hal itu berarti, pemimpin yang visioner mampu melihat tantangan dan peluang sebelum keduanya terjadi sambil kemudian memposisikan organisasi mencapai tujuan-tujuan terbaiknya.
                     Corinne McLaughlin (2001) mendefinisikan pemimpin yang visioner (Visionary leaders) adalah mereka yang mampu membangun ‘fajar baru’ (a new dawn) bekerja dengan intuisi dan imajinasi, penghayatan, dan boldness. Mereka menghadirkan tantangan sebagai upaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan menjadikannya sebagai sesuatu yang menggugah untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka bekerja dengan kekuatan penuh dan tercerahkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi.Pandangannya jauh ke depan. Mereka adalah para social innovator, agen perubah, memandang sesuatu dengan utuh (big picture) dan selalu berfikir strategis.
Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota organisasi dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana Kartanegara, 2003).
Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara ideal dari seluruh aktivitas. Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental tentang sesuatu yang ingin dicapai di masa depan.
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.
Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi keinginan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
                   Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dari uraian di atas penulis memandang bahwa kepemimpinan yang visioner  dan transformasional merupakan kepemimpinan yang mampu mengembangkan intuisi, imajinasi dan kretaifitasnya untuk mengembangkan organisasinya. Dia memiliki kemampuan untuk memimpin menjalankan misi organisasinya melalui serangkaian kebijakan dan tindakan yang progressif menapaki tahapan-tahapan pencapaian tujuannya, adaptif terhadap segala perubaahan dan tantangan yang dihadapi, serta efisien dan efektif dalam pengelolaan segala sumber daya yang dimilikinya.
B.  Karakteristik pemimpin visioner dan transformasional
                   Kepemimpinan visioner memiliki ciri-ciri yang menggambarkan segala sikap dan perilakunya yang menunjukkan kepemimpinannya yang berorientasi kepada pencapaian visi, jauh memandang ke depan dan terbiasa menghadapi segala tantangan dan resiko. Diantara cirri-ciri utama kepemimpinan visioner adalah:
            1. Berwawasan ke masa depan, bertindak sebagai motivator, berorientasi pada the best  performance untuk pemberdayaan, kesanggupan untuk memberikan arahan konkrit yang sistematis.
            2. Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Memandang sumber daya, terutama sumberdaya manusia sebagai asset yang sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan yang baik terhadap mereka
              3. Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam menggapai tujuan, menjadi model (teladan) yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya, memberikan umpan balik positif, selalu menghargai kerja keras dan prestasi yang ditunjukkan oleh siapun yang telah memberi kontribusi[5]
             4. Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola ‘mimpi’ menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah, bergerak ke ‘new place’,[6] . Mampu memberi inspirasi, memotivasi orang lain untuk bekerja lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan situsi dan kondisi yang lebih baik.
             5. Mampu mengubah visi ke dalam aksi, menjelaskan dengan baik maksud visi kepada orang lain, dan secara pribadi sangat commited terhadap visi tersebut[7].
              6. Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diykininya. Memiliki integritas kepribadian yang kuat, memancarkan energy, vitalitas dan kemauan yang membara untuk selalu berdiri pada posisi yang segaris dengan nilai-nilai spiritual. Menjadi orang yang terdepan dan pertama dalam menerapkan nilai-nilai luhur, sebagimana yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi: “I must first be the change I want to see in my world.”
               7. Membangun hubungan (relationship) secara efektif, memberi penghargaan dan respek. Sangat peduli kepada orang lain (bawahan), memandang orang lain sebagai asset berharga yang harus di perhatikan, memperlakukan mereka dengan baik dan ‘hangat’ layaknya keluarga. Sangat responsive terhadap segala kebutuhan orang lain dan membantu mereka berkembang, mandiri dan membimbing menemukan jalan masa depan mereka
              8. Innovative dan proaktif dalam menemukan ‘dunia baru’. Membantu mengubah dari cara berfikir yang konvensional (old mental maps) ke paradigma baru yang dinamis. Melaklukan terobosan-terobosan berfikir yang kreatif dan produktif. (‘out-box thinking’). Lebih bersikap atisipatif dalam mengayunkan langkah perubahan, ketimbang sekedar reaktif terhadap kejadian-kejadian. Berupaya sedapat mungkin menggunakan pendekatan ‘win-win’ ketimbang ‘win-lose’.
         Adapun karekteristik pemimpin transformasional menurut Bass dan Avolio (1994)  mempunyai empat dimensi.
1.      Dimensi  idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
2.      Dimensi inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan antusiasme dan optimisme.
3.       Dimensi intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
4.      Dimensi individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.

C.      Strategi tindakan kepemimpinan  visioner dan transformasional
Frank Martinelly (2007) menguraikan startegi bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang visioner. Menurutnya ada 5 langkah yang semstinya dilakukan :
              Strategy 1
– Fokus kepada Tujuan Organisasi
Seluruh tindakan dan pengambilan keputusan harus di arahkan kepada semata-mata upaya pencapaian tujuan final dari organisasi. Hal ini dilakukan guna menghindari segala kecenderungan dan ‘godaan’ penyitaan energi dan pemborosan sumber daya kepada hal-hal kecil dan tidak prinsip yang mungkin timbul. Untuk menjaga agar semua rencana aksi focus kepada tujuan organisasi, memerlukan kekompakkan dan pemeliharaan hubungan antara pimpinan dan seluruh staff/karyawan.
                Strategy 2 – Membuat Rencana Jangka Panjang
Permusan jangka panjang akan menuntun kepada langkah yang jelas sampai 5-10 tahun ke depan, siapa-siapa saja yang akan memimpin dan bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan tersebut, kompetensi kepemimpinan yang bagaimana yang diperlukan, lalu bagimana disain pengembangan kepemimpinannya?. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini perlu membentuk semacam komite yang ditugaskan untuk menyiapkan langkah-langkah strategis pencapaian tujuan jangka panjang, yang lingkup tugasnya antara lain: melakukan rekrutmen, seleksi, orientasi, pelatihan, performance assessment dan penetapan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
                  Strategy 3 – Mengembangkan Visi bagi masa depan organisasi.
Kunci perumusan visi adalah menjawab pertanyaan: apabila kita menginginkan dan bermimpi akan seperti dan menjadi apa organisasi kita kelak di kemudian hari?. Begitu rumusan visi telah dibuat, maka seharusnya visi tersebut akan menjadi inspirasi bagi seluruh aktivitas organisasi, baik dalam rapat-rapat, dalam perbincangan, dalam menghadapi segala tantangan dan peluang, dalam arena kerja. Begitu visi telah dirumuskan, maka saat itu pula, visi disampaikan ke seluruh pihak terkait di dalam organisasi, bahkan ke ruang-ruang public di luar organisasi.
                 Strategy 4
– Selalu berada dalam kondisi siap dan dinamis untuk perubahan.
Selalu siap berubah dengan cepat akan terbantu dengan menyajikan informasi-informasi mutakhir tentang segala perubahan yang terjadi di luar organisasi yang berpotensi berdampak kepada organisasi 3-5 tahun ke depan. Dorong dan fasilitasi anggota orgasnisasi untuk membaca, mendengar dan mencari tahu segala hal yang terkait dengan kejadian-kejadian dan berita yang relevan dengan tuntutan perubahan. Kemudian setelah itu munculkan pertanyaan yang menantang: sejauhmana organisasi mampu secara efektif merespon perubahan dan kecenderungan-kecenderungan tersebut? Bagaimana pula organisasi lain yang sejenis menyiapkan diri mereka menghadapi perubahan-perubahan ini? Pertanyaan-pertanyaan iti seyogyanya akan dapat memicu dan memacu anggota organisasi untuk berfikir dan memposisikan diri mereka untuk siap berubah.
                   Strategy 5 – Selalu mengetahui perubahan kebutuhan konstituen/pelanggan
Keinginan dan kebutuhan pelanggan seringkali mengalami perubahan. Oleh karena itu, seharusnya organisasi menyediakan informasi-infromasi aktual yang terkait dengan hal ini. Survey kepuasan pelanggan, kontak langsung dengan pelanggan, mengefektifkan layanan ’customer care’, adalah beberapa cara yang dapat dilakukan agar orgnisasi selalu mengetahui harapan dan keinginan pelanggan yang baru. Dengan demikian organisasi akan selalu siap untuk melakukan perubahan dan perbaikan untuk menjaga kepuasan pelanggan.

 BAB III
KESIMPULAN

Kepemimpinan sangat berpengaruh dalam berbagai  organisasi, perusahaaan dan lembaga. Agar pengaruh yang timbul dapat meningkatkan kinerja personil secara optimal. Maka pemimpin harus memiliki wawasan dan kemampuan dalam melaksanakan gaya kepemimpinan.
           Kepemimpinan visoner  dan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh sumber daya menjalankan misi agar dapat mendekati visi yang ditetapkan serta mampu mengembangkan intuisi, imajinasi dan kretaifitasnya untuk mengembangkan organisasinya. Dia memiliki kemampuan untuk memimpin menjalankan misi organisasinya melalui serangkaian kebijakan dan tindakan yang progressif menapaki tahapan-tahapan pencapaian tujuannya, adaptif terhadap segala perubaahan dan tantangan yang dihadapi, serta efisien dan efektif dalam pengelolaan segala sumberdaya yang dimilikinya.  Pemimpin yang visoner dan transformasional menjalankan kepemimpinannya dengan dukungan penuh dari seluruh staf dan semua pihak yang terkait dengannya, disebabkan kepiawaiannya dalam meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka laksanakan akan memberikan yang terbaik buat semua pihak. Dengan kemampuan tersebut seorang pemimpin yang visioner dan transformasional akan mampu membawa organisasinya berkembang dan mampu menghadapi segala tantangan zaman.

REFERENSI
Kartanegara, Diana. (2003). Strategi Membangun Eksekutif. [Online]. Tersedia: http://www.pln.co.id/fokus/ArtikelTunggal.asp?ArtikelId= 268
pendidikan-umat.blogspot.com/2008/01/kepemimpinan-visioner.html
wawan-satu.blogspot.com
wordpress.com/2008/01/
kepemimpinan-visoner.doc



Selasa, 11 Oktober 2011

RPP IPA Kelas VIII

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( RPP )


Jenjang Sekolah           :  S M P  Negeri 1 Sukaratu
Mata Pelajaran             :  IPA Terpadu
Kelas / Semester          :  VIII / I
Alokasi waktu              :  4 X 40’ ( 2 x Pertemuan )

Standar Kompetensi 1.
Memahami berbagai sistem dalam kehidupan manusia.

Kompetensi Dasar 1.1.
Menganalisis pentingnya pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup.

Indikator
w  Menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup
w  Menyimpulkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup
w  Membandingkan metamorfosis sempurna dan tidak sempurna
w  Membuat laporan hasil percobaan pertumbuhan pada tumbuhan kacang kedelai

A.  Tujuan Pembelajaran
1.      Siswa dapat memahami konsep pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup
2.      siswa dapat menjelskan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan..
3.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan metamorfosis sempurna dan tidak sempurna
4.      Siswa dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
v  Karakter siswa yang diharapkan :          Disiplin ( Discipline )
Rasa hormat dan perhatian ( respect )
Tekun ( diligence )
Tanggung jawab ( responsibility )
Ketelitian ( carefulness)

B.  Materi Pembelajaran
      Pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup.

C.  Metode Pembelajaran
      1.  Pendekatan                   :  Pembelajaran kontekstual
      2.  Metode                         :  Diskusi, informasi, dan percobaan / observasi
      3.  Model Pembelajaran     :  Pembelajaran langsung dan pembelajaran kooperatif.

D.  Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan Pertama
      1.  Kegiatan Pendahuluan
            a.  Motivasi
                  1)  Disebut apakah proses kecebong menjadi katak kecil ?
                  2)  Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi peristiwa anak ayam menjadi
                        ayam dewasa ?
            b.  Pengetahuan Prasyarat
                        Siswa telah memahami ciri-ciri makhluk hidup terutama tumbuh dan
                        berkembang biak.

      2.  Kegiatan Inti                
§ Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi  :
F  Siswa dapat memahami konsep pertumbuhan dan perkembangan pada hewan.
F  Siswa dapat menjelaskan perbedaan metamorfosis sempurna dan tidak sempurna
F  Siswa dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhlik hidup
F  melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari;
F  menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
F  memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
F  melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.


§ Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
F  Membimbing siswa dalam berdiskusi tentang pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan bantuan charta
F  memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
F  memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
F  memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
F  memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
F  memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;


§ Konfirmasi
 Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
F  Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diktahui siswa
F  Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman, memberikan penguatan  dan penyimpulan

3. Kegiatan Penutup
      Dalam kegiatan penutup, guru:
F  Dengan dibantu guru, siswa membuat kesimpulan dari hasil pembelajarannya.
F  Guru memberi tugas rumah.

Pertemuan Kedua
      1.  Kegiatan Pendahuluan
            a.  Motivasi
                  1)  Bagaimana perbedaannya antara pertumbuhan dengan perkembangan pada tumbuhan rumput teki ?
                  2)  Faktor-faktor apakah yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman mangga ?
            b.  Pengetahuan Prasyarat
                        Siswa telah memahami pertumbuhan dan perkembangan pada hewan.

      2.  Kegiatan Inti
§ Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi  :
F  Siswa dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan..
F  Siswa dapat membedakan metagenesis tumbuhan lumut dan paku.
F  melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari ;
F  menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
F  memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
F  melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
F  memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium atau lapangan.

§ Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi  :
F  Siswa melakukan diskusi dengan bimbingan guru tentang metagenesis tumbuhan paku dan lumut dibantu dengan charta.
F  Siswa melakukan percobaan tentang pertumbuhan tanaman.
F  Siswa diberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
F  Guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
F  Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
F  Guru memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
F  Guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;
F  Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang  menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.

§ Konfirmasi
 Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
F  memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
F  memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber,
F  memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
F  memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
Ø  berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
Ø  membantu menyelesaikan masalah;
Ø  memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
Ø  memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;
Ø  memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

      3. Kegiatan Penutup
      Dalam kegiatan penutup, guru:
F  bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan  pelajaran;
F  melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
F  memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
F  merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
F  Guru memberi tugas rumah.

E.  Media Pembelajaran
      Alat dan bahan lihat jelajah konsep.

F.  Sumber Pembelajaran
      1.  Buku IPA Terpadu                   
      2.  Buku-buku IPA yang relevan.
      3.  Charta dan bahan percobaan.
      4.  Guru dan Siswa.

G.  Penilaian.
Indikator Pencapaian Kompetensi
Teknik Penilaian
Bentuk Instrumen
Instrumen/ Soal
w  Menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup

w  Menyimpulkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup

w  Membandingkan metamorfosis sempurna dan tidak sempurna

w  Membuat laporan hasil percobaan pertumbuhan pada macam-macam tumbuhan berdasarkan titik tumbuhnya
Tes tulis






Tes tulis






Tes tulis




Tes Unjuk Kerja
Tes Uraian






Tes uraian






Isian




Uji Petik Kerja Produk
Tuliskan 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup!

Deskripsikan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan pada makhluk hidup !



Apakah perbedaan metamorfosis sempurna dan tidak sempurna  ?

Deskripsikan pertumbuhan pada kacang hijau berdasarkan titik tumbuhnya!

                                   

                                   
Mengetahui,
Kepala SMP Negeri 1 Sukaratu




(     Drs.      T   O   H   A       )
NIP. 195211061075021002

Tasikmalaya....................  2011
Guru Mapel Ilmu Pengetahuan Alam




         (Hj. Ai Reni Hertini, S.Pd)
        NIP : 197003021997022004